Penulis : Iglo Montana
Minimnya akses ketenagakerjaan menjadi salah satu tantangan yang dihadapi kelompok disabilitas. Representasi pekerja disabilitas dalam lingkungan formal masih kurang setara dan memadai karena berbagai keterbatasan yang mereka miliki. Sebagai solusi alternatif, wirausaha disabilitas atau disebut juga sebagai “wirabilitas” menjadi sebuah model yang menarik untuk mendukung inklusivitas dan pemberdayaan penyandang disabilitas di masa mendatang. Beberapa pertanyaan kemudian muncul terkait praktik wirabilitas ini. Seperti apa praktiknya di lapangan dari sisi pelaku wirausaha, tanggapan pemerintah atau lembaga swasta, maupun masyarakat umum.
Dengan menekuni bidang yang menjadi ketertarikannya, empat pelaku wirabilitas ini berhasil menjadi bukti nyata bahwa penyandang disabilitas juga bisa mandiri, memiliki penghasilan, dan ikut berkontribusi dalam lingkungan masyarakat menciptakan lapangan kerja.
Ini adalah kisah mereka…
Kisah Aryani, penyandang disabilitas netra yang menjadi salah satu pendiri dan pengelola dari wirausaha disabilitas bernama Blind Coffee Specialty.
Kisah Valen, penyandang disabilitas fisik cerebral palsy yang menjalani hari-harinya sebagai guru les privat sekaligus mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara.
Kisah Treestori Coffee, kedai kopi kekinian yang mengayomi dan membimbing Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan skill barista dan pengalaman kerja sebagai Barista Hebat.
Kisah SLB Ulaka Penca, sekolah di Lebak Bulus, Jakarta Selatan yang mewadahi kelas keterampilan wirausaha seperti tata boga, sablon, dan steam cuci motor untuk Anak-Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan penyandang disabilitas.
Bubuk kopi arabika yang dituangkan oleh wanita paruh baya berkacamata teleskopik itu bertaburan jatuh tak tepat sasaran. Sadar akan hal itu, ia mendekatkan wajahnya ke arah coffee dripper yang ia genggam di tangan kanannya. Tertegun sejenak, ia kembali menyendok serbuk kopi halus dari kemasan yang diletakkan di meja.
Selesai menuang bubuk kopi, jemarinya mencari sebuah teko kepala angsa yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Air yang telah dipanaskan oleh rekannya sesama barista kemudian mengucur sedikit demi sedikit, berbentuk lingkaran membasahi kertas filter berisi kopi racikan wanita berbaju ungu senada.
Tuangan air panasnya sempat meleset dari coffee dripper, tetapi segera ia hentikan, sambil membenarkan kacamata teleskopiknya, Aryani mendekatan wajahnya hingga menyisakan jarak 15 cm dengan coffee dripper. Jarak yang menurut orang terlalu dekat itu, merupakan jarak yang ideal untuk Arysani dapat melihat dengan jelas, mengingat ia adalah penyandang disabilitas netra low vision.
Perlahan tapi pasti, volume air kopi yang makin menumpuk keatas, menghasilkan beberapa gelembung buih, bau asam harum khas biji kopi arabika, dan tetesan air kopi yang tertampung dalam cup coffee dripper. Beberapa saat, setelah mengulang teknik menyeduh V60, kopi sudah siap disajikan.
“Ini kak, kopi V60 nya sudah selesai,” ujarnya sambil tersenyum kepada pembeli pertamanya untuk hari itu. Aryani berharap sembari menunggu gerimis sore itu, agar makin banyak pembeli yang mengunjungi booth kopi Blind Coffee Specialty, dalam salah satu acara pameran UMKM yang diadakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Aryani Sri Ramadhani atau kerap dipanggil Aryani, merupakan seorang istri dan ibu, sekaligus menjadi salah satu pendiri dari wirausaha disabilitas bernama Blind Coffee Specialty (BCS). Sejak 2020, kedai kopi tunanetra ini membantu disabilitas netra dan low vision untuk mengenal dan menguasai skill barista dengan kopi, coklat, dan rempah dari Indonesia.
“Dulunya bersama teman-teman lain berempat, kami belajar kopi dengan bang Andri Wijaya, guru kami dari Dapur Kaum. Nah, selesai belajar, kami diberitahu supaya tidak putus belajarnya buat grup saja. Akhirnya darisitu kami beri nama Blind Coffee sebagai identitas saja agar tahu kalau yang punya ini memang tuna netra,” kata Aryani sore itu.
Bagi Aryani, hidup sebagai perempuan penyandang disabilitas low vision tidak mudah dan memiliki tantangannya tersendiri. Apalagi dulu ia adalah seorang teman awas, sebelum akhir tahun 2008 saat ia mengalami glaucoma. Sebuah kondisi penurunan penglihatan secara progresif pada saraf mata, akibat tingginya tekanan di dalam bola mata.
Meskipun kehilangan sisa penglihatannya, tekad Aryani yang juga selaku anak sulung dan istri saat itu, justru semakin membaja dalam dirinya.
“Saat itu depresi memang, orang mana yang dari bisa melihat, terus tidak bisa, tidak depresi. Sempat sedih, tapi tidak mau berlanjut-lanjut terus. Karena sebagai anak sulung juga, kepikiran untuk harus bisa mandiri dapat kerja, bantu 3 adik, dan buat orangtua bangga,” ungkap Aryani.
Tekad inilah yang kemudian mendaratkan dirinya sebagai pekerja administrasi di sebuah perusahaan bir. Namun, seiring berjalan rutinitasnya bekerja disitu selama setengah tahun, Aryani merasa jenuh. Tidak banyak pekerjaan yang dapat ia lakukan saat itu, hanya buat laporan yang memerlukan 30 menit hingga 1 jam dari waktunya. Bahkan selebihnya ia mengaku sering bengong sampai jam pulang kantor. Jam kerja dan perjalanan ke tempat kerja dari pagi hingga larut malam, juga membuat Aryani sering pergi pagi, pulang malam, dan langsung tidur.
Membuat Aryani tidak sempat masak untuk suaminya dan melakukan kegiatan lain selepas bekerja sehingga saat kontraknya tidak diperpanjang dari perusahaan, Aryani menerima hal itu dengan penuh syukur. Justru hal tersebut, membuka peluang baru yang ia ingin coba yaitu berwirausaha. Sebelum memulai perjalanan wirausaha Blind Coffee Specialty, Aryani sempat menggeluti wirausaha online menjual behel kawat gigi. Ia bahkan sempat menghasilkan keuntungan hingga 12 juta per bulan di tengah naik turun penjualannya.
Hal ini tentu, semakin membuat Aryani percaya bahwa berwirausaha adalah pilihan pekerjaan yang cocok. Lantaran melalui wirausaha, ia dapat memperoleh penghasilan, sambil bekerja dan bersama sang suami.
Hingga akhirnya pada 2020, babak perjalanan wirausaha Blind Coffee Speciality masuk ke dalam kehidupannya, menjadi salah satu rejeki yang selalu ia syukuri.
“Memang tidak selamanya selalu baik dan mulus dalam membangun dan mengelola perjalanan wirausaha Blind Coffee Specialty. Tapi, namanya pertolongan Tuhan setiap hari ya selalu ada, entah itu melalui teman-teman tunanetra, relawan teman awas, ataupun sponsor yang percaya ke Blind Coffee Speciality (BCS) ini,” tutur Aryani yang mulai berdiri kembali untuk menyapa dan menawarkan menu produk hot coffee dan beberapa botol produk variasi matcha dan coklat kopi karya teman-teman BCS yang sudah di-packing dingin.
Empat orang mulai berkumpul di depan booth bazar Blind Coffee Specialty sore itu. Beberapa dari mereka awalnya mencoba berteduh sebentar dari hujan yang masih turun, tetapi karena tak kunjung reda, menu hot coffee Blind Coffee Specialty mulai menarik di tengah hawa dingin tersebut. Namun, ada pula pembeli yang memang mendatangi booth BCS karena penasaran ingin merasakan produk kopi yang dijual.
Sambil meracik minuman hot coffee dengan proses manual brew, seorang pembeli yang mengamati mata Aryani selama beberapa saat, penasaran dan bertanya kepada Aryani.
“Kak, maaf Blind Coffee itu berarti, blind kakak-kakak yang jual atau baristanya disabilitas netra?”
“Hehe, iya kak kami yang jual teman-teman low vision dan tunanetra, tapi ada juga relawan teman awas (non disabilitas) yang bantu barista,” ucap Aryani.
“Oohh keren kak,” balas pembeli itu yang cukup terkesima dan kembali memperhatikan Aryani.
Satu dua pembeli lain yang juga mendengarkan perbincangan tersebut, juga kemudian ikut bertanya seputar Blind Coffee sambil menunggu pesanan kopi panas mereka. Beberapa pertanyaan seperti sejak kapan, jualan apa saja, dan lokasi kedai BCS terlontar kepada Aryani.
“Untuk sekarang Blind Coffee Specialty, belum memiliki kedai kopinya sendiri. Jadi seringkali kami keliling-keliling, seperti sekarang buka kedai sebagai tenant di acara bazaar Pesta Pinggiran Taman Ismail Marzuki atau terkadang saat perjanjian kerjasama sponsor,” balas Aryani.
Terkait pengelolaan wirausaha Blind Coffee Specialty, Aryani mengakui bahwa bersama temannya, ia membagi 4 divisi tugas kerja. Divisi itu antara lain, kelas seduh kopi tunanetra, kedai kopi, Blind Coffee Adventure, dan humas. Divisi kelas seduh kopi tunanetra, seperti namanya adalah divisi yang mengajarkan teman-teman BCS ilmu dan praktik teknik meracik minuman kopi. Teknik manual brew V60, kopi tubruk, dan Vietnam drip adalah tiga contoh variasi ilmu yang telah Aryani ajarkan dalam divisi ini. Sampai hari ini, divisi kelas seduh kopi tunanetra telah menghasilkan 60 alumni teman BCS yang memiliki produk kopi maupun produk makanan dan minuman wirausahanya sendiri.
“Kelas ini selain mengajar ilmu dan praktik membuat kopi, juga menjadi wadah untuk alumni Blind Coffee yang mulai berwirausaha untuk memasarkan produknya. Jadi kadang kita tampung juga beberapa karya produk alumni dan kita bantu jual tanpa persenan komisi. Jadi, bisa dibilang kelas ini perlu biaya besar, tapi alhamdullilah juga, tahun ini bisa jalan beberapa kali latihan praktik, karena bantuan banyak pihak sponsor,” tutur Aryani pelan.
Kemudian ada divisi kedai kopi, yang Aryani ungkap sebagai divisi yang sering mengurus tenant bazaar, melayani pesanan rapat atau hajatan dari perusahaan, organisasi, atau yayasan, dan instansi lainnya.
Lalu divisi ketiga yaitu Blind Coffee Adventure yang singkatnya merupakan divisi wisata edukasi. Aryani menambahkan bahwa sampai hari ini divisi Blind Coffee Adventure sering aktif kerjasama dengan pihak Museum Bank Indonesia di Jakarta Kota. Wisata edukasi yang dijalankan oleh divisi ini, mengajak masyarakat umum untuk keliling museum, lalu matanya ditutup dan beraktivitas ala tunanetra selama beberapa jam.
Kemudian divisi terakhir, yaitu humas. Divisi yang mengurus segala administrasi, proposal, perjanjian kerjasama, dan publikasi promosi Blind Coffee Specialty di sosial media Instagram.
“Setelah punya kedai kopi, mikir lagi, jangan kita saja yang bisa seperti ini. Kita mau teman-teman tunanetra lain juga merasakan skill baru yang mungkin masih baru di kalangan teman-teman tunanetra,” kata Aryani
Menurut Aryani, selain teman-teman tunanetra, teman-teman awas atau non disabilitas sebenarnya juga bisa bantu. Tidak harus melalui bantuan uang, tapi bisa melalui membantu mengajar atau menyumbangkan ilmu.
“Seperti misal, bantu teman netra belajar kalimat promosi, bantu foto, video, dan katalog produk. Hal-hal seperti itu saja sudah membantu. Hal-hal itu mungkin simpel buat teman-teman awas. Tapi, untuk kami itu sudah membantu sekali. Selain itu, mengajak obrol, dialog, saling cerita, dan saling menyemangati itu juga sudah termasuk membantu kami, para teman tunanetra,” ungkap Aryani.
Aryani juga menyampaikan harapannya kedepan untuk Blind Coffee Speciality supaya semoga kedepan, semakin banyak alumni BCS yang bisa punya produk berkualitas, publikasi lebih rutin dan makin luas dikenal dan memberi manfaat bagi banyak teman-teman wirausaha disabilitas.
Dibawah temaram lampu sebuah ruang tamu rumah, suara lembut seorang wanita, terdengar dengan sabar membimbing anak laki-laki yang nampak kebingungan menatap buku tulisnya. Sambil tersenyum kecil, ia mengoreksi jawaban Jeven, murid les privatnya yang masih duduk di kelas 1 SD.
Menatap mata gurunya yang masih belia itu, rupanya kebingungan si anak didik masih belum usai. Hal itu nampak dari tatapannya yang kembali kosong dan tangannya yang tak kunjung menuliskan jawaban. Hingga akhirnya, guru yang masih menimba ilmu di perguruan tinggi itu merangkak pelan, mengitari meja, dan bergerak ke samping Jeven untuk kembali mengarahkannya menemukan jawaban yang benar.
Di usianya yang masih 19 tahun, separuh anggota gerak tubuh bagian kiri Tangika Valencia atau akrab disapa Valen, terkulai lemas, tidak bisa menopang badannya karena cerebral palsy, sebuah kondisi disabilitas fisik yang disebabkan oleh cerebral palsy.
Kondisi fisiknya itu, sempat membuatnya berkonflik dengan dirinya sendiri sewaktu di masa awal sekolah. Namanya juga bocah, mereka memiliki rasa penasaran yang tinggi. Alhasil, banyak teman masa kecil Valen yang tak henti bertanya terkait perbedaan fisik Valen.
“Konflik internal pernah ada juga, misalkan mau beli jam kadang aku ngerasa tidak cocok buat pakai itu karena disabilitasku. Namun, di satu sisi aku merasa teman-teman kelasku pada baik dan menghargai aku,” kata Valen.
Tak hanya teman sekelasnya, Pak Bram, guru matematika Valen di SMP Maria Immaculata, Tangerang, juga berhasil menumbuhkan kecintaan dan kepercayaan diri Valen untuk mengajar. Valen sangat menghormati etos kerja Pak Bram, yang dulunya petugas kebersihan, tetapi tetap tekun belajar hingga akhirnya bisa kuliah dan jadi guru matematika di SMP-nya.
Dari situ tidak hanya matematika saja, Valen jadi suka membantu orang untuk memahami sesuatu. Entah di sekolah atau perguruan tinggi, jika ada teman yang kurang paham, ia suka membantu dengan metode tanya jawab, diskusi, dan demonstrasi.
“Merasa enjoy saja, sewaktu mengajar. Cocok, passion juga sepertinya dan ada kesenangan tersendiri kalau ada yang paham lewat penjelasanku,” tutur Valen.
Selain menjalani kesehariannya sebagai guru les privat matematika dan bahasa Inggris, Valen juga menimba ilmu sebagai mahasiswa semester 4 jurusan Ilmu Komunikasi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Universitas Multimedia Nusantara.
“Dulu sebenarnya mau ambil jurusan matematika atau animasi dengan beasiswa. Tapi, mengingat keterbatasan aku, yang mungkin orang tua gak bisa selalu menemani. Jadi aku cari opsi pembelajaran jarak jauh atau online sambil aku bisa kerja sampingan sebagai guru les privat,” ungkap Valen.
Sejak 2018 saat ia masih berada di kelas 9 SMP, Valen mulai menawarkan jasa les privatnya. Bak roda yang berputar, pada kalanya sebuah bisnis juga mengalami naik-turun yang semua itu ia lakoni sendiri.
“Awalnya, waktu itu adiknya temanku kesusahan belajar matematika. Kebetulan ibunya, teman dekat dengan mamaku. Nah disitu, karena masih SMP dan kegiatan belum terlalu padat jadi dicoba jalani dulu karena bagus juga untuk cari uang jajan sendiri dan pengalaman mengajar,” ungkap Valen.
“Setelah mengajar adik temanku itu, syukurnya bisa lanjut terus dari situ. Ada murid lagi yang mau diajar aku dari info mulut ke mulut. Ibunya temanku tadi lanjut menginfokan, aku bisa mengajar les dengan baik,” tambah Valen halus sambil mengangguk.
Hampir 15 jam dalam seminggu, Valen mengalokasikan waktunya untuk mendidik dua muridnya, Kenneth dan Jeven, mengulang materi pelajaran matematika dan Bahasa Inggris. Valen sering kali juga memperkaya metode belajar dengan membuat materi soal sendiri, memanfaatkan sumber dari internet dan buku pelajaran muridnya untuk persiapan ujian.
Karena hanya seorang diri mengajar, kerap kali Valen membagi dua sesi les privatnya dengan memulai sesi pertama pada pukul 13.00 – 14.30 WIB dan sesi kedua pada pukul 15.30 – 17.00 WIB.
“Ikut waktu anak lesnya juga, kadang tidak selalu offline, online juga beberapa kali. Jadi bisa diatur waktunya. Biasanya tiga kali seminggu,” tutur Valen menjelaskan jadwal mengajarnya.
Tak jarang juga, Valen masih kesulitan mengatur manajemen waktu mengajar dan kegiatan kuliahnya.
“Kadang masih suka santai dulu, sebelum kelas mulai dan sampai buat tugasnya tertunda. Malas, biasanya habis mengajar mau istirahat sebentar sebelum lanjut sampai jam sembilan atau sepuluh malam. Tapi, untuk mengajar selalu aku usahakan tepat waktu dan untungnya soal tugas kuliah, aku tipe yang masih bisa santai sebelum deadline, tapi itu yang harus diperbaiki juga,” ujar Valen.
Selain mengajar dan kuliah, Valen pernah mencoba freelance dengan menawarkan jasa desain kepada teman-temannya. Namun, pengalamannya kurang positif karena teman-temannya sering minta ‘harga teman’, padahal menurut Valen, desain membutuhkan usaha, keterampilan, energi, dan waktu yang tidak sedikit.
Di luar kegiatan-kegiatannya, Valen memiliki rencana pribadi yang ia harap dapat terwujud dalam beberapa tahun mendatang. Meski dirinya belum terlalu memikirkan untuk melamar kerja di perusahaan, ia memiliki impian untuk membuka lapangan pekerjaan yang dapat menampung dan mendukung teman-teman disabilitas seperti dirinya.
“Jadi misalnya, bisnis les privatku. Mungkin, semoga, pengajarnya penyandang disabilitas yang bisa mengajar pelajaran-pelajaran inti di sekolah, seperti matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS. Itu tapi harapan yang masih sangat jauh. Mungkin setelah lulus nanti, karena sekarang masih fokus kuliah dulu,” tutup Valen.
Di pinggir hiruk pikuk kota Jakarta, sebuah rumah yang berlokasi di Blok H3/24, Perumahan Taman Alfa Indah, Kecamatan Pesanggrahan, Kota Jakarta Barat berhasil disulap menjadi kedai kopi. Banner bergambar logo pohon beringin coklat bertuliskan Treestori Coffee terikat di pintu gerbang rumah itu dan seorang wanita sambil memiringkan kepalanya ke kiri mulai menata kursi dan meja di halaman teras rumah.
Setiap hari Jumat dan Sabtu, rumah berlantai dua, selebar 120 m2 itu, selalu menghasilkan uap bau kopi dan suara ramai dari pengunjung yang betah berkunjung hingga sore, seakan mampir ke rumah teman dekatnya sendiri.
Memang sekilas, konsepnya seperti kedai kopi rumahan pada umumnya. Namun, Treestori Coffee memiliki keunikannya sendiri. Tak hanya menyediakan tempat nongkrong dan menjual produk-produk kopi serta makanan, mereka juga menaungi dan mengajarkan kemampuan barista pada 14 teman-teman Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Jean, Raffi, Dylan, dan Kelvin adalah empat Barista Hebat yang saat itu bekerja secara bangga dan bersemangat di Sabtu pagi itu. Menggunakan apron coklat dengan pin berlogo Treestori Coffee, wanita yang usai merapikan kursi dan meja di teras tadi, menyapa.
“Halo kak. Nama..aku, Jean. Kakak mau pesan minuman apa? Coffee atau non coffee,” tanyanya sambil memberikan menu dan tersenyum lebar memperlihatkan giginya.
Saat pertama kali datang, karena belum kenal dengan “wajah baru” pembeli, tak semua teman-teman barista ABK seperti Jean yang terlebih dahulu menyapa dan menawarkan menu Treestori Coffee. Terkadang mereka hanya memandangi pembeli yang datang dari dalam area dapur sebelum membuatkan pesanan minuman.
Beberapa orang tua dari barista ABK juga asik duduk meminum kopi gula aren buatan anak mereka. Ada pula orang tua yang dari jauh ikut mengamati dan mengarahkan pergerakan anak mereka saat sedang melakukan tapping kopi, menakar susu, menuang es, dan menyegel cup minuman.
Dalam bekerja, barista ABK tidak seratus persen dilepas tanpa pendampingan. Christyana Henrietta atau lebih akrab dipanggil Anna, merupakan salah satu pendamping sekaligus pemilik dari Treestori Coffee bersama ketiga temannya.
Anna kerap mendampingi teman barista, dalam menyiapkan stock bahan minuman, mengingatkan proses racikan minuman yang terlewat seandainya teman barista lupa, dan mengajak teman barista berkenalan atau menyapa pengunjung yang datang.
Berkat kegigihan dan usaha bersama, mereka berhasil menyulap kediaman Anna menjadi café Treestori Coffee. Di café ini Anna, membimbing dan membantu teman-teman ABK memiliki skill berwirausaha untuk kehidupan yang lebih mandiri di tengah lingkungan sosial.
Siang itu, seraya berjalan ke area dapur dan mengikatkan apron coklat panjang khas barista, Anna mengawasi Jean dan Raffi yang sedang meracik pesanan kopi gula aren “Cerita Manis”.
Jean adik dari Anna, bersama Raffi dan teman-temannya yang berkebutuhan khusus, sebelumnya memang sudah dilatih selama berbulan-bulan agar bisa meracik minuman kopi maupun non coffee untuk para pengunjung. Beberapa dari mereka bahkan sudah menguasai teknik-teknik seperti espresso brew, manual brew, dan latte art.
Layaknya barista di kedai kopi pada umumnya, Jean dan Raffi juga sudah paham tugas masing-masing. Raffi menyiapkan takaran susu, gula aren cair, dan es. Tugas itu diberikan karena Raffi memiliki keterbatasan tangan kanan yang kurang bisa bergerak cepat dan luwes akibat cerebral palsy.
Sedangkan Jean yang memiliki keterbatasan intelektual dalam berkomunikasi, tapi mampu melakukan pekerjaan yang lebih memerlukan tenaga dan presisi. Diberi pembagian kerja oleh Anna untuk melakukan tamping atau mengekstrak cairan kopi espresso menggunakan mesin espresso brew dan menyegel cup minuman.
Menjadi barista bagi Jean dan Raffi ternyata juga didasari atas rasa suka mereka pada kopi. Saat pengunjung café tidak terlalu ramai, terkadang mereka tetap membuat kopi sebagai bahan latihan yang kemudian dinikmati sendiri. Raffi suka cappuccino, sedangkan Jean lebih suka iced americano.
Treestori Coffee tempat Jean dan Raffi bekerja sebagai barista, didirikan pada Desember 2021 oleh Anna dan tiga temannya bernama Thao, Fanda, dan Gaby. Saat itu, mereka ingin membantu Jean, adik Anna yang berumur 20 tahun. Jean yang merupakan penyandang hidrosefalus atau tunagrahita, diajarkan keterampilan barista seperti manual brew dan espresso brew. Seiring berjalannya waktu, Jean yang dilatih ternyata hasilnya bagus, bisa paham proses dan langkah pembuatannya.
“Kita nggak semata-mata ke Jean saja, sebelumnya kita berempat punya visi misi yang cukup mirip, mau bikin bisnis tapi yang punya impact. Jadi nggak semata-mata profit, tapi juga membantu masyarakat. Dari situ, kami terpikir, bikin pilot project dulu ke adik sendiri dulu. Ternyata berhasil dan terpikir kenapa tidak coba untuk ABK lain juga? Jadi kita mulai lah menyebar disitu,” jelas Anna.
Selain mendampingi teman barista, Anna terkadang kerap juga mengagendakan jadwal shooting video reels Instagram di lantai 2 ruangan indoor atau akrab disebut ruang komunitas Treestori oleh Anna dan para orangtua teman ABK. Ruang komunitas ini menjadi melting pot berbagai ekspresi dari para orangtua, teman barista, dan pendamping Treestori.
Selama beberapa jam proses shooting, Anna dan para orangtua teman barista menjalani hiruk pikuk rasa capek dan bahagia. Meskipun sekilas perilaku dan perkataan teman barista lucu atau mengenyuhkan hati, Anna dan para orangtua teman barista kerap menghadapi ujian kesabaran.
Terkadang mereka tersenyum mengelus dada atau agak tegas mengkoordinasikan gerakan dan ekspresi teman-teman barista untuk melambai, tersenyum, berucap dan berpose mempromosikan berbagai produk karya Treestori.
Suara tertawa kemudian sempat memenuhi ruangan komunitas karena Jean yang seharusnya merekam voice over (VO) kata ciee, malah menjadi ciuh. Kemudian, Dylan juga ikut tersenyum lebar, menempelkan dua jari telunjuknya ke pipi kanan dan kiri saat sesi foto promosi. Meluluhkan hati para orangtua ABK dan menimbulkan teriakan spontan bersama “ehh gemes!”
Namun, beberapa detik kemudian setelah gelak tertawa dan gemas geli, teriakan suara “Weh! Wahh! Wawawawehhhh! Diikuti getaran kejang dari tangan dan badan Kelvin akibat autisme hiperaktifnya, yang bergantian menjadi pusat perhatian sementara.
Mama Kelvin yang melihat situasi itu menenangkan Kelvin dengan memberitahu agak tegas, “Hayooo…, nakal. Mama tinggal ya Kelvin.”
Karena spektrum autis hiperakitfnya, Kelvin memang perlu ditemani oleh mamanya saat melakukan kegiatan. Mirip halnya dengan Kelvin, Dylan yang juga memiliki spektrum autis kerap kali mudah terdistraksi dan kurang bisa fokus juga sering dijanjikan ayam kesukaan (AW) oleh orangtuanya.
“Dylan ayo, nanti habis ini AW ya. Habis ini mama papa beli AW,” ujar halus mama Dylan.
Sebenarnya selain “dijanjikan” dan “diberitahukan”, terkadang para orang tua teman ABK juga sampai berkeringat dan pusing sendiri, meladeni tingkah anaknya. Namun rasanya, bersama para pendamping Treestori, mereka semua tetap tulus bersyukur memberi dukungan kepada anaknya.
“Di mata kami dan orangtua ABK, kegiatan ini menyenangkan dan tambah pahala, tapi capek memang,” ungkap Fanda sambil diikuti tawa ringan.
Pada awal gerakannya, Anna, Fanda, Thao, dan Geby sempat mengalami beberapa hambatan untuk konsiderasi waktu sistem kerja dan kelas pelatihan yang rutin ideal kepada teman-teman ABK. Di tengah mengelola cafe Treestori, mereka berempat juga bekerja sebagai full time pegawai swasta. Selain itu, pertimbangan teman-teman ABK yang jam shift maksimal fokusnya sekitar 4 jam saja, juga menjadi pemikiran bersama.
“Makanya kita cuma buka café di Jumat Sabtu saja, karena jika menambah hari maka juga perlu menambah anak-anak yang sudah dilatih dan dirasa sudah siap,” tutur Fanda.
Seperti Jean dan Raffi, teman-teman ABK lainnya juga belajar skill barista hingga bisa dari kelas pelatihan bersama trainer barista yang rutin diadakan tiap minggunya. Bahkan selain kelas pelatihan barista rencananya Anna, Fanda, Thao, dan Gaby ingin coba buka kelas baru.
“Sampai sekarang, kita buka empat kelas yang per kelas membimbing empat anak. Syukurnya antusias teman-teman ABK dan orangtua juga tinggi, sering ikut membantu kami. Padahal jauh-jauh ada yang dari Ciledug, Kelapa Gading, dan Jabodetabek kebanyakan,” tutur Fanda.
“Kelasnya sudah mulai jalan per Sabtu dari November 2023 lalu dan kedepannya mungkin buka kelas baru juga. Kita juga paham, nggak semua anak itu sebenarnya suka kopi. Kalau memang anaknya suka masak, ya kita coba sediakan kelas masak atau baking, atau ada yang mau merangkai bunga, ya kita cobain kelas rangkai bunga. Kedepannya sih harapannya seperti itu,” tambah Fanda.
Ide ini juga sebenarnya sudah dipraktekkan perlahan tapi pasti oleh Anna dan temannya sebagai pengelola Treestori Coffee. Variasi camilan seperti croissant dan makanan ricebowl menjadi beberapa contoh produk yang mereka sedang coba dan ingin tetapkan terus kedepannya.
“Prinsipnya setelah mapan dan yakin sama produknya, barulah akan diajarkan ke teman-teman ABK,” ujar Gaby yang membantu mengelola kualitas dan variasi produk-produk Treestori Coffee.
Kepada teman-teman yang di hari Jumat dan Sabtu sekiranya ingin Work From Cafe atau sekedar ingin nongkrong santai bersama teman, pacar, atau keluarga. Bisa coba mampir ke Treestori Coffee, hitung-hitung healing sambil menambah koneksi, wawasan inklusif, dan pengalaman baru lewat berkenalan dengan Jean, Raffi, Kelvin, Dylan, atau teman-teman ABK lain.
“Semoga bisa terus berkembang, makin banyak impact yang kita kasih ke masyarakat, nggak cuma bnerhenti disini aja, dan makin banyak ABK yang kita naungin dan bantu juga,” ungkap Anna.
Pagi itu, sinar matahari pagi merambat masuk melalui jendela, menerangi sebuah ruang kelas yang nampak lebih mirip dapur. Berbagai peralatan dan bahan memasak seperti kompor, wajan, mesin penggiling tepung, mentega, masako, garam, dan tepung terigu tersebar memenuhi ruang itu.
Waktu sudah menunjuk pukul 09.00 dan di kelas tersebut, Amal (42), Kartini (42), dan Saphira (27) tiga serangkai teman dengan disabilitas intelektual telah siap memulai pelajaran keterampilan tata boga bersama guru mereka, Ibu Samsi Winarni, yang lebih akrab di telinga murid-muridnya sebagai Bu Samsi.
Bu Samsi, seorang wanita paruh baya dengan logat kental bahasa Jawa, mengajar kelas workshop tata boga di SLB Ulaka Penca, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tiap hari Senin sampai Jumat, di kelas tersebut, ia mengajarkan keterampilan tata boga praktis yang bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Terdapat total 5 murid yang diajar oleh Bu Samsi di kelas workshop tata boga. Mereka merupakan teman-teman penyandang disabilitas yang sudah memasuki umur dewasa dan terhitung sebagai pekerja muda vokasional.
Kelas workshop tata boga bisa dibilang menjadi kelas lanjutan bagi murid-murid SLB Ulaka Penca yang sudah lulus maupun teman-teman penyandang disabilitas intelektual yang memang tidak bisa disalurkan dalam masyarakat.
“Jadi kita wadahi dulu dalam kelas workshop. Usia anak-anak di kelas workshop ini memang sudah dewasa semua. Antara 30-60 tahun. Mereka hanya bisa mengerjakan satu tahap pekerjaan. Jadi, mereka bayar kelas untuk dilatih dan dibimbing keterampilan tata boga, lalu bayaran kelasnya kita kembalikan sebagai gaji mereka,” tutur Bu Samsi.
Sebelum memulai pelajaran, Bu Samsi meminta ketiga muridnya untuk mengambil dan memakai apron coklat tua yang sudah ia posisikan bersama bahan-bahan masak hari itu di atas meja.
Saphira hanya terdiam saja, menunduk dan memainkan jemarinya. Hingga akhirnya dipanggil yang kedua kali, barulah ia ikut bersama Amal dan Kartini mengambil apronnya sendiri. Meski akhirnya, Bu Samsi juga tetap harus membantu mereka bertiga mengikatkan tali apron di pinggang.
“Agenda kita hari ini apa, anak-anak? Membuat..,” tanya Bu Samsi.
“Cheese stick.., eese tik, bu” jawab Amal paling keras diikuti suara Kartini dan Saphira yang hanya mengangguk.
“Pinterr.., udah beberapa kali buat. Masih pada inget lah ya,” ujar Bu Samsi dengan logat daerahnya yang masih terdengar.
Proses pembuatan snack cheese stick ini terdiri dari lima tahapan utama yaitu mengolah bahan menjadi adonan, menggiling lembaran adonan, menggoreng lembaran adonan yang sudah digiling, mengemas cheese stick yang sudah jadi untuk dijual, dan mencuci serta merapikan peralatan tata boga yang telah digunakan.
Bu Samsi kemudian membagi tugas kepada tiap-tiap muridnya. Saphira bertugas mengolah bahan, Amal di bagian penggilingan lembaran adonan, dan Kartini bertanggung jawab atas penggorengan. Pekerjaan pengemasan dan mencuci peralatan dilakukan bersama setelah cheese stick selesai dibuat.
Namun, lantaran perhatian dan fokus mereka mudah teralihkan. Alhasil, wanita asal Jogjakarta tersebut juga kerap berimprovisasi menghadapi tingkah laku murid-muridnya yang mengundang tawa dan senyuman sabar.
Amal misalnya, beberapa kali kerap memutar engsel mesin penggiling terlalu cepat dan kuat hingga lepas. Meskipun Bu Samsi sudah membantu memasangnya kembali, kejadian serupa sering kali terulang.
“Loh, lepas lagi,” tanya Bu Samsi seraya tertawa tipis pada Amal yang mencoba memutar ujung engsel agar kembali terpasang pada mesin.
“Iya bu, hehehe. Sudah tapi,” balas Amal setelah berhasil memperbaiki engselnya.
Atau misal, Saphira yang bertugas mengolah bahan, tampak kesulitan memipihkan adonan. Meski Bu Samsi, Kartini, dan Amal telah menunjukkan caranya, Saphira tetap memutar adonan menjadi bola bakso, yang lagi-lagi mengundang gelak tawa.
Mata Saphira memperhatikan Bu Samsi dan teman-temannya itu. Setelah beberapa menit berlalu, kedua tangannya juga sudah mencoba menekan adonan. Namun, karena kurang tenaga atau fokusnya ingin bermain, Bu Samsi akhirnya meminta Saphira agar bertukar tugas dulu dengan Amal.
Selama 27 tahun mengajar di SLB Ulaka Penca, Bu Samsi selalu menekankan pentingnya kemandirian bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, ia tidak pernah mau muridnya hanya diam atau kebingungan harus melakukan apa.
“Kelas tata boga ini memang diadakan untuk berusaha memandirikan anak-anak. Tata boga disini bisa untuk kehidupan sehari-hari. Jadi, misal anak sendirian di rumah ingin makan dan orangtua sedang pergi. Mereka bisa membuat nasi goreng, telur ceplok atau indomie rebus,” ujar Bu Samsi.
Setelah proses pengolahan dan penggilingan selesai, lembaran adonan siap digoreng oleh Kartini. Bu Samsi juga selalu mengawasi murid yang bertugas menggoreng, karena ia memahami risiko antara api dan murid-muridnya yang mudah terdistraksi.
Cheese stick yang sudah matang kemudian dikemas dalam plastik segel dan ditimbang hingga mencapai berat 50 gram. Setiap kemasan dijual seharga lima ribu rupiah kepada orang tua murid, orang luar yang memesan, atau di kantin sekolah. Omset hasil penjualan seratus persen masuk ke kantong murid-murid kelas workshop tata boga Ulaka Penca.
“Mal, kalau Ibu beli empat, berarti bayar berapa,” tanya Bu Samsi sambil mengembalikan bahan-bahan masakan ke dalam kulkas.
“Ehh, hmm, lima puluh ribu ibu,” balas Amal sambil menimbang kemasan cheese stick.
“Lah, itu kalau beli sepuluh. Kalau beli empat berarti, berapa Amal,” tanya Bu Samsi sekali lagi, kali ini dengan senyum sabar.
“Dua puluh ribu, Bu,” jawab Kartini yang sudah menyelesaikan tugas mencuci dan berjalan tertatih ke arah Bu Samsi dan Amal.
Sambil mengangguk, Bu Samsi membenarkan, “Iya, betul Kartini, pinter. Jadi, berapa tadi Amal?”
“Dua puluh ribu, Ibu,” jawab Amal dengan lebih yakin.
Selain cheese stick, mereka juga sering membuat produk tata boga lain seperti rempeyek kacang, kacang hijau, dan teri.
“Kita mengerjakan tata boga karena sudah ada pesanan. Sering ada ikut bazar, atau dari orangtua siswa atau dari tamu yang pesan sebagai kenang-kenangan hadiah ke orang lain. Kalaupun tidak ada, kita latihan sendiri coba buat produk yang ada nilai jual pasarnya,” ungkap Bu Samsi.
Bu Samsi berharap, usaha dan kegigihan murid-muridnya dapat terbayar melalui variasi produk dan pesanan dari orang eksternal sekolah yang semakin banyak.
“Rencana kedepan, kita sedang merintis berbagai minuman dingin, panas, dan herbal. Seperti kopi, teh sereh, atau susu kurma. Intinya, kalau anak-anak atau teman-teman penyandang disabilitas banyak kerjaan, berarti mereka mempunyai kemandirian yang tinggi dan sudah dihargai oleh masyarakat,” tutup Bu Samsi.
Tak hanya dari Bu Samsi dan kelas workshop tata boga, SLB Ulaka Penca juga melingkupi tiga tingkat pendidikan sekolah yaitu SDLB, SMPLB, SMALB untuk anak-anak berkebutuhan khusus (luar biasa).
Ratmartini selaku Kepala Sekolah mengaku bahwa meskipun sejak berdiri dari tahun 1985, gedung sekolah Ulaka Penca berada di bawah payung dinas sosial DKI Jakarta, Ulaka Penca merupakan sekolah swasta pada umumnya yang mengikuti program dan kalender pendidikan Kemendikbud, tapi menjalankan sistem administrasi keuangannya secara mandiri.
Di tahun ajaran 2023/2024, SLB Ulaka Penca mewadahi 47 murid aktif dengan disabilitas intelektual, daksa, pendengaran, atau fisik yang diampu oleh 5 pendidik tetap dan 4 guru ekstrakurikuler. Melalui penilaian tes IQ dari psikolog yang bekerja sama dengan pihak sekolah, calon murid SLB Ulaka Penca kemudian ditempatkan dalam SDLB, SMPLB, SMALB, atau kelas workshop sesuai minat, umur, dan level spektrum disabilitasnya.
“Programnya kita sama, ada ulangan harian, ujian kelulusan kelas di akhir semester. SDLB 6 tahun, SMPLB kelas 7 sampai 9, dan SMALB kelas 10 hingga 12. Belajarnya juga dari hari Senin sampai Jumat, pukul 07.30 – 13.20. Mungkin yang berbeda, kelas workshop yang awalnya disebut Ulaka, atau Unit Latihan Kerja dulu untuk murid-murid belajar keterampilan wirausaha atau kerja,” ucap Bu Tini.
Kerajinan tangan, steam cuci motor, sablon kaos dan goodie bag, serta membuat keset dari kain perca menjadi beberapa variasi kelas keterampilan wirausaha yang diajarkan dalam SLB Ulaka Penca kepada semua muridnya.
“Anak-anak bisa memilih sendiri sesuai minatnya atau dari kita yang observasi dan memberikan penilaian, mencobakan anak ke dalam semua kelas itu lalu sekiranya paling cocok dimana. Output-nya kita bertujuan supaya anak mandiri,” tambah Bu Tini yang kemudian meminta izin untuk minum sebentar sebelum lanjut wawancara.
Ternyata sudah empat tahun, Bu Tini menjadi Kepsek SLB Ulaka Penca, tetapi beliau, Bu Samsi, dan beberapa pengajar lainnya merasa SLB Ulaka Penca kurang diperhatikan atau perlu lebih mendekati pemerintah atau dinas sosial DKI Jakarta untuk bekerja sama perihal penunjangan sarana prasarana seperti bahan dan promosi kegiatan atau produk murid-murid kelas keterampilan wirausaha melalui media sosial.
“Kita sedang mengusahakan coffee shop, tempat jahit pakaian, dan bengkel motor yang semoga tetap mengalir modalnya untuk bangun wirausaha itu. Sebab, tanpa bantuan orang lain saya rasa orang tua juga bingung atau sudahlah di Ulaka saja karena banyak UMKM disini yang bisa bantu anak berwirausaha lebih mandiri,” tegas Bu Tini.